KPK Tahan Kanwil BPN Riau
Jakarta – KPK menahan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kakanwil BPN) Riau M Syahrir. Syahrir sebelumnya ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus korupsi pengurusan dan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) 3.300 hektare di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing).
“Hari ini (1/12) pemeriksaan tersangka MS Kepala Kanwil BPN Provinsi Riau 2019-2022. Dugaan korupsi pengurusan perpanjangan Hak Guna Usaha PT Adimulia Agrolestari Tahun 2021,” kata Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Kamis (1/12/2022) seperti dilansir detik.com.
Pantauan wartawan di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, pukul 16.37 WIB, M Syahrir terlihat turun dari ruang pemeriksaan di lantai dua. Dia terlihat telah mengenakan rompi tersangka KPK berwarna oranya.
Dia tampak digiring petugas KPK dengan tangan telah diborgol. Syahrir diarahkan menuju ruang konferensi pers.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan, guna kepentingan penyidikan, M Syahrir bakal ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) KPK di Kaveling C1 Gedung ACLC, Jakarta Selatan.
“Terkait kebutuhan penyidikan untuk Tersangka MS, dilakukan penahanan 20 hari pertama. Dimulai tanggal 1 Desember 2022 sampai dengan 20 Desember 2022 di Rutan KPK pada Kaveling C1 Gedung ACLC,” kata Ghufron.
Ghufron melanjutkan, dalam perkara ini, KPK telah mengumumkan tiga orang tersangka. Mereka antara lain M Syahrir (MS), Frank Wijaya (FW), dan Sudarso (SDR) selaku GM PT Adimulia Agrolestari. Sebelumnya, KPK juga telah menahan Frank Wijaya selaku pemegang saham PT Adimulia Agrolestari sejak 27 Oktober 2022.
“Sebelumnya, KPK juga telah mengumumkan beberapa Tersangka, MS, Kepala Kanwil Provinsi Riau, FW, Swasta Pemegang Saham PT AA. SDR, GM PT AA,” kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam konferensi pers, Kamis (1/12/2022).
Konstruksi Perkara
Ketua KPK Firli Bahuri menyebut perkara ini bermula saat tersangka Frank Wijaya (FW) menugasi Sudarso (SDR) selaku General Manager PT AA untuk mengurus perpanjangan HGU PT AA yang segera berakhir pada 2024. Sedari awal, Sudarso diminta aktif untuk menyampaikan perkembangannya kepada Frank Wijaya.
“Selanjutnya SDR menghubungi dan melakukan beberapa pertemuan dengan MS yang menjabat selaku Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Riau yang membahas antara lain terkait perpanjangan HGU PT AA,” kata Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (27/10/2022).
Selanjutnya, pada Agustus 2021, Sudarso menyiapkan seluruh dokumen administrasi pengurusan HGU PT AA seluas 3.300 hektare yang terletak di Kabupaten Kuansing, yang pengurusannya lewat Kanwil BPN Riau. Kemudian, Sudarso diminta datang ke rumah dinas M Syahrir guna membahas pengurusan tersebut.
“Dalam pertemuan tersebut kemudian diduga ada permintaan uang oleh MS sekitar Rp 3,5 miliar dalam bentuk dolar Singapura dengan pembagian 40% s/d 60% sebagai uang muka dan MS menjanjikan segera mempercepat proses pengurusan HGU PT AA,” jelas Firli.
Firli mengatakan Sudarso melaporkan hasil pertemuan itu kepada Frank Wijaya dengan mengajukan uang sebanyak SGD 120 ribu atau setara sekitar Rp 1,2 miliar. Frank menyetujui nominal tersebut untuk pengurusan HGU PT AA.
“SDR lalu melaporkan permintaan MS kepada FW dan SDR kemudian mengajukan permintaan uang SGD 120 ribu (setara dengan Rp 1,2 miliar) ke kas PT AA dan disetujui oleh FW,” sebutnya.
Akibat perbuatannya, Frank Wijaya dan Sudarso ditetapkan KPK sebagai tersangka pemberi. Keduanya didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara M Syahrir sebagai penerima disangkakan dengan Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.