KPK Tetapkan Kepala BPN Riau Jadi Tersangka Terima Suap Rp 1,2 M terkait HGU
Jakarta – KPK menetapkan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kanwil BPN) Riau M Syahrir (MS) menjadi tersangka korupsi pengurusan dan perpanjangan hak guna usaha (HGU) 3.300 hektare di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing). KPK turut menetapkan dua pihak swasta jadi tersangka di perkara ini.
Ketua KPK Firli Bahuri menyebut perkara ini bermula saat tersangka Frank Wijaya (FW) selaku pemegang saham PT Adimulia Agrolestari (AA) menugasi Sudarso (SDR) selaku General Manager PT AA untuk mengurus perpanjangan HGU PT AA yang segera berakhir pada 2024. Sedari awal, Sudarso diminta aktif untuk menyampaikan perkembangannya kepada Frank Wijaya.
“Selanjutnya SDR menghubungi dan melakukan beberapa pertemuan dengan MS yang menjabat selaku Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Riau yang membahas antara lain terkait perpanjangan HGU PT AA,” kata Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (27/10/2022).
Selanjutnya, pada Agustus 2021, Sudarso menyiapkan seluruh dokumen administrasi pengurusan HGU PT AA seluas 3.300 hektare yang terletak di Kabupaten Kuansing yang pengurusannya lewat Kanwil BPN Riau. Kemudian, Sudarso diminta datang ke rumah dinas M Syahrir guna membahas pengurusan tersebut.
“Dalam pertemuan tersebut kemudian diduga ada permintaan uang oleh MS sekitar Rp 3,5 miliar dalam bentuk dolar Singapura dengan pembagian 40% s/d 60% sebagai uang muka dan MS menjanjikan segera mempercepat proses pengurusan HGU PT AA,” jelas Firli.
Firli mengatakan Sudarso melaporkan hasil pertemuan itu kepada Frank Wijaya dengan mengajukan uang sebanyak SGD 120 ribu atau setara sekitar Rp 1,2 miliar. Frank menyetujui nominal tersebut untuk pengurusan HGU PT AA.
“SDR lalu melaporkan permintaan MS kepada FW dan SDR kemudian mengajukan permintaan uang SGD 120 ribu (setara dengan Rp 1,2 miliar) ke kas PT AA dan disetujui oleh FW,” sebutnya.
Penyerahan Uang Tanpa Alat Komunikasi
Pada September 2021, Syahrir meminta uang tersebut diserahkan di rumah dinasnya. Dia juga meminta Sudarso selaku perwakilan Frank tidak membawa alat komunikasi.
“Atas permintaan MS penyerahan uang SGD 120 ribu dari SDR dilakukan di rumah dinas MS dan MS juga mensyaratkan agar SDR tidak membawa alat komunikasi apa pun,” tutur Firli.
Firli menyampaikan, seusai pemberian itu, Syahrir memimpin langsung ekspose permohonan perpanjangan HGU perusahaan Frank Wijaya. Usulan perpanjangan itu dapat ditindaklanjuti dengan adanya rekomendasi dari eks Bupati Kuansing Andi Putra.
“Usulan perpanjangan dimaksud bisa ditindaklanjuti dengan adanya surat rekomendasi dari Andi Putra selaku Bupati Kuantan Singingi yang menyatakan tidak keberatan adanya kebun masyarakat dibangun di Kabupaten Kampar,” kata Firli.
Setelahnya, Frank Wijaya memerintahkan Sudarso untuk mengajukan permohonan kepada Andi Putra serta meminta agar kebun kemitraan PT AA dapat disetujui menjadi kebun kemitraan.
“Dilakukan pertemuan antara SDR dan AP dan dalam pertemuan tersebut Andi Putra menyampaikan bahwa kebiasaan dalam mengurus surat persetujuan dan pernyataan tidak keberatan atas 20 % Kredit Koperasi Prima Anggota (KKPA) untuk perpanjangan HGU yang seharusnya di bangun di Kabupaten Kuantan Singingi dibutuhan minimal uang Rp 2 miliar,” terang Firli.
Firli menduga bahwa telah terjadi kesepakatan antara Andi Putra dan Sudarso lewat pengetahuan Frank Wijaya dalam pemberian uang senilai Rp 2 miliar. Proses pemberian uang pertama sebagai tanda jadi dilakukan pada September 2021 dengan total Rp 500 juta.
“Sebagai tanda kesepakatan, sekitar bulan September 2021, diduga telah dilakukan pemberian pertama oleh SDR kepada AP uang sebesar Rp 500 juta,” ucap Firli.
“Berikutnya, pada 18 Oktober 2021, SDR diduga kembali menyerahkan kesanggupannya tersebut kepada AP dengan menyerahkan uang sekitar Rp 200 juta,” tambahanya.
Akibat perbuatannya, Frank Wijaya dan Sudarso ditetapkan KPK sebagai tersangka pemberi. Keduanya didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara M Syahrir sebagai penerima disangkakan dengan Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
KPK Tahan Frank Wijaya
Sebelumnya, KPK juga telah menahan Frank Wijaya selaku pemilik Hotel Adimulia. Ia telah mengenakan rompi tahanan KPK berwarna oranye.
“Untuk kepentingan penyidikan, maka Tim Penyidik melakukan penahanan pada Tsk FW untuk 20 hari pertama, terhitung dari tanggal 27 Oktober 2022 s/d 15 November 2022 di Rutan Polres Jakarta Selatan,” kata Firli.
Sementara itu, Firli juga mengimbau M Syahrir untuk kooperatif dalam panggilan penyidik KPK. Sedangkan tersangka Sudarso saat ini tengah mendekam di Lapas Sukamiskin, Bandung.
“KPK memerintahkan kepada Saudara MS untuk memenuhi panggilan Tim Penyidik dan Tim Penyidik akan melakukan penjadwalan pemanggilan dan mengimbau agar yang bersangkutan kooperatif hadir sedangkan SDR saat ini sedang menjalani masa pemidanaan di Lapas Sukamiskin, Bandung,” tutup Firli.
Foto: Kanwil BPN Riau, Syahrir (internet).