Jakarta – Gerakan buruh di Indonesia telah mengarungi perjalanan panjang dari masa kolonial hingga saat ini. Kondisi politik tiap rezim mempengaruhinya dengan signifikan. Kini, gerakan tersebut disebut rentan disusupi muatan politik yang tak relevan dengan isu perburuhan.
Dikutip dari buku Perkotaan, Masalah Sosial, & Perburuhan di Jawa Masa Kolonial, Jakarta: Komunitas Bambu (2013) yang disusun John Ingleson, gerakan protes di zaman kolonial dilakukan kaum petani untuk menuntut perbaikan kesejahteraan memberikan inspirasi kepada kaum buruh untuk menggalang kekuatan secara bersama-sama. Gerakan buruh pun dicetuskan oleh para pekerja perusahaan kereta api dengan tuntutan perbaikan kondisi kerja.
Serikat buruh pertama pun terbentuk di Jawa dalam perusahaan kereta api pada 1905. Namun, serikat buruh ini berada di bawah kendali Eropa dan hanya merekrut sebagian kecil buruh pribumi.
Serikat ini menjadi kelompok penting setelah ambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Berbagai peraturan pun dilahirkan untuk buruh, mulai dari undang-undang (UU) yang mengatur tentang kecelakaan kerja, perlindungan, perjanjian perburuhan antara serikat buruh dan majikan, hingga penyelesaian perselisihan perburuhan.
Di era Orde Lama, posisi pemimpin buruh Indonesia pun mulai diperhitungkan di kancah internasional lantaran menjadi tokoh utama yang melahirkan wadah serikat buruh internasional. Beberapa contoh peran serikat buruh di Indonesia itu adalah Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) dan Gabungan Serikat Buruh Islam (Gasbiindo) yang ikut mendirikan Konfederasi Buruh Independen Dunia (ICFTU), sementara Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) ikut mendirikan Federasi Serikat Buruh Dunia (WFTU).
Namun, gerakan buruh meredup ketika memasuki era Orde Baru. Di bawah kepemimpinan Soeharto, Pemerintah melumpuhkan gerakan buruh. Bentuknya, tuduhan percobaan kudeta yang diklaim dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) lewat Gerakan 30 September (G30S). Klaim ini pun memberi jalan buat militer mengambil alih kekuasaan dengan menghancurkan berbagai organisasi pendukung PKI, termasuk serikat buruh.
Perubahan kembali terjadi setelah memasuki era Reformasi. Bacharudin Jusuf Habibie yang menggantikan Suharto sebagai Presiden Indonesia meratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) Nomor 87 yang menjamin hak untuk berserikat. Konvensi ini melengkapi Konvensi Nomor 98 tentang perundingan kolektif yang sudah diratifikasi sejak 1950-an.
Pasang Surut Gerakan Buruh
Pengamat perburuhan dari Universitas Airlangga Hadi Shubhan, mengatakan pergerakan buruh mengalami pasang surut sejak era Orde Lama hingga saat ini. Menurutnya, pergantian kepemipinan di Indonesia merupakan faktor yang membuat hal itu terjadi.
Dia menjelaskan, pergerakan buruh di era Sukarno memiliki tempat yang diperhitungkan. Hadi menuturkan, kiblat pemerintahan Sukarno yang sosialis membuat buruh mendapatkan ruang gerak dan peran yang penting.
“Pergerakan buruh mengalami pasang surut dari dulu zaman Orde Lama, di mana kiblat pemerintah sosialis shingga gerakan buruh di bawah Sukarno punya peran signifikan,” ucap Hadi saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Jumat (28/4) pekan lalu.
Hanya saja, lanjutnya, hal tersebut berubah di memasuki Orde Baru di bawah kepemimpinan Suharto. Menurutnya, gerakan buruh dibatasi dengan sangat represif lewat kebijakan yang hanya mengakui keberadaan satu organisasi atau serikat buruh.
Kelompok buruh kembali memperoleh kebebasannya di era Reformasi, setelah Habibie mengesahkan UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja. Bahkan, Hadi menyampaikan, regulasi tersebut telah mempermudah buruh untuk membentuk serikat atau organisasi lantaran syarat yang diberikan cenderung mudah untuk dipenuhi.
“[Di era Reformasi] kebebasan itu diperoleh kembali, terbukti dengan tanpa dibatasi pendirian serikat pekerja. Bahkan sangat mudah, ada 10 orang dan anggaran dasar sudah cukup untuk mendirikan serikat buruh,” ujar dia.
Terkait dengan gerakan buruh dalam beberapa tahun terakhir, dia menilai, sejumlah hal-hal yang bersifat makro telah berhasil disuarakan dan mendorong pemerintah untuk menerbitkan kebijakan. Salah satunya, kata dia, terkait dengan asuransi atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Menurutnya, hampir seluruh masyarakat Indonesia yang dapat merasakan manfaat kebijakan yang didorong lahir dari gerakan buruh ini.
“Terakhir adalah adanya BPJS, adanya advokasi dari serikat buruh tentang keharusan adanya BPJS. Ternyata itu manfaatnya bukan hanya untuk buruh, tapi untuk seluruh masyarakat,” kata Hadi.
Meski demikian, Hadi menilai, gerakan buruh di Indonesia belum berjalan dengan efektif. Terbukti, lanjutnya, sejumlah isu yang dibawa lewat gerakan buruh tidak seluruhnya terealisasi. Hadi pun menyayangkan berbagai gerakan buruh yang mengadvokasi hal-hal tidak sesuai atau kurang relevan dengan substansi buruh, seperti menyinggung kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) pemerintah. Menurutnya, penyuaraan isu tersebut cenderung bermuatan politis.
“Ada beberapa serikat buruh yang muatannya tidak murni pada advokasi buruh, tapi ada muatan politik. Bagaimana mungkin ada serikat buruh mengkritisi tax amnesty? Itu tidak ada hubungannya dengan gerakan buruh, itu gerakan politik,” ujar dia.
Berangkat dari itu, Hadi berharap, gerakan buruh yang rencanya terselenggara dalam menyambut Hari Buruh Internasional (May Day), Selasa (1/5) mendatang menyuarakan isu-isu aktual yang lebih sesuai dengan substansi. Salah satunya, menurut dia, polemik terkait Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA).
Selain itu, Hadi menilai, isu lain yang juga dapat disuarakan ialah tentang upah minimum yang masih dihitung berdasarkan survei dan sistem kerja kontrak (outsourcing).
“Isu aktualnya adalah buruh asing yang kelihatannya diperlonggar oleh negara. Kemudian masih soal pengupahan, karena sejak 2015, penentuan upah minimum itu bukan berdasarkan survei tapi berdasarkan rumus. Terus ada kebijakan buruh kontrak dan outsourcing itu masih tetap aktual,” tutur Hadi.
Tinggal Euforia
Seorang karyawan swasta yang menolak disebutkan namanya mengatakan gerakan buruh semakin sekadar euforia belaka dalam beberapa tahun terakhir. Menurutnya, hanya segelintir dari buruh yang mengikuti aksi unjuk rasa memahami dari isu-isu yang tengah disuarakan.
Dia berpendapat, hal ini terjadi lantaran sejumlah pihak kerap memanfaatkan gerakan buruh yang memiliki massa dalam skala banyak untuk tujuan tertentu.
“Semakin ke sini, saya lihat gerakan butuh sekadar euforia saja. Mereka juga takut kala dipecat dari tempat kerjanya. Hanya ada beberapa saja buruh yang betul-betul paham dengan gerakannya,” kata dia.
Sementara itu, dia juga menilai bahwa tuntutan buruh tidak akan pernah habis. Menurutnya, situasi saat ini kerap memaksa manusia menjadi ketergantungan dan tidak bisa mandiri.
“Kalau bicara tentang buruh dan perjuangannya, enggak akan pernah berakhir. Sistem menginginkan setiap manusia ketergantungan dan enggak boleh mandiri. Makanya enggak ada anak-anak sekarang yang mau jadi petani,” ujarnya.
Sementara itu, seorang karyawan swasta yang bergerak di bidang percetakan, Bimo Aryo Nugroho, menuturkan pergerakan buruh di Indonesia harus mengalami pembaruan. Dia menilai, gerakan buruh yang dilaksanakan lewat aksi unjuk rasa di peringatan Hari Buruh Internasional hanya seperti perayaan hari ulang tahun.
Seharusnya, lanjut Bimo, buruh melakukan kajian terhadap berbagai materi atau isu yang disuarakan dalam tuntutannya terlebih dahulu agar gerakan buruh tidak menjadi sekadar seremonial dengan isu-isu serupa yang disuarakan.
“Federasi atau serikat buruh lainnya harus melakukan pembaruan gerakan, jadi tidak menjadikan May Day sebagai seremoni untuk menyampaikan pendapat,” ujarnya.
Tulisan ini dikutip dari CNN Indonesia
Poto : Ilustrasi gerakan buruh di Indonesia. (CNN Indonesia/Safir Makki)