SPPD Fiktif DPRD Rohil Diduga Mangkrak di Polda Riau, Formasi Riau: Jangan Pertaruhkan ‘Konsep Presisi’ Kapolri
??????????????.??? – – Pekanbaru – Presiden Joko Widodo dalam beberapa pernyataannya diberbagai sumber di media menegaskan bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang telah merugikan keuangan negara, merusak sistem demokrasi, dan melanggar hak asasi manusia. Sehingga, negara tidak bisa dengan semudah itu untuk membiarkan para pelaku (oknum) kasus korupsi begitu saja.
Seperti halnya temuan kasus SPPD Fiktif DPRD Rokan Hilir, Riau diduga korupsi berjamaah yang menjadi sorotan publik saat ini yang sudah ditangani pihak Polda Riau sejak 2018 lalu, sudah 2 tahun lebih diketahui belum juga menetapkan siapa tersangkanya. Ada apa dengan kasus ini!
Sebagaimana dikutip dari CNN Indonesia (3/1/2019) Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Riau sudah memeriksa seluruh anggota DPRD Rokan Hilir yang berjumlah 45 orang. Pemeriksaan tersebut sebagai bagian dari penyelidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif.
“Sudah semua diperiksa. 45 anggota dewan plus staf yang dimintai keterangan. (Penyelidikan) ini mungkin akan panjang dan lama,” kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Riau, Kombes Pol Gidion Arif Setiawan seperti dilaporkan Antara, Kamis (3/1).
Pemeriksaan terkait dugaan korupsi yang merugikan negara Rp1,6 miliar tersebut dilakukan penyelidik Ditreskrimsus Polda Riau secara maraton sejak Oktober 2018 lalu. Dugaan penyimpangan dalam perkara ini terjadi pada Maret 2017 lalu. Sekretariat Dewan Rohil menerima uang persediaan (UP) sebesar Rp 3 miliar, dari jumlah itu yang bisa dipertanggungjawabkan sekitar Rp 1,395 miliar, sedangkan sisanya Rp 1,6 miliar tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Ironisnya, diketahui Penyidik yang menangani perkara itu diduga sudah melakukan pemeriksaan ke Rokan Hilir dan sudah memeriksa 86 saksi dan belum menetapkan tersangka. Sekali lagi ada apa dengan Polda Riau!
Seperti diketahui, 50 persen kasus korupsi bentuknya penyuapan. Koruptor menyuap tak mungkin menggunakan tanda terima atau kuitansi. Secara hukum, pembuktiannya cukup sulit. Itu sebabnya Undang Undang memberi kewenangan kepada KPK untuk memenjarakan orang yang korupsi, demikian penegasan mantan Penasihat KPK Abdullah Hehamahua mengatakan mengapa korupsi di Indonesia menjadi kejahatan luar biasa mengutip republika.co.id (23/2/2012).
Sementara terhadap kasus (ekstraordinary crime) ini diketahui sudah menjadi atensi tingkat tinggi di publik Riau bahkan pusat.
Direktur Forum Masyarakat Anti Korupsi (FORMASI) Riau, Dr. Muhammad Nurul Huda, SH..MH penggiat hukum dan lingkungan khususnya dalam pergerakan kampanye anti korupsi saat dikonfirmasi gardapos.com, Sabtu (7/2/2021) di Pekanbaru tegas mengatakan, bahwa Formasi Riau hingga saat ini masih belum melihat adanya tanda – tanda komitmen Polda Riau untuk mengusut tuntas dugaan korupsi SPPD Fiktif di Setwan Kabupaten Rokan Hilir Riau.
“Kami ingin komitmen yang tegas terhadap kasus ini akan diselesaikan dengan cepat. Kasus ini sendiri telah berjalan dua tahun lebih, tapi pengusutannya kok tidak kunjung selesai. Harus berapa banyakkah pergantian Kapolda Riau baru hingga dugaan korupsi ini diselesaikan,” pungkas Dr. Muhammad Nurul Huda, SH. MH.
Padahal Pasal 4 UU No. 31 Tahun 1999 diubah dengan UU 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi telah menggariskan bahwa “pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapus tindak pidana korupsi”. Kerugian telah ditemukan sekitar Rp 1,6 M serta 45 anggota dewan periode 2014-2019 telah dimintai keterangannya.
“Ya Kami disini tidak hanya bicara kerugian keuangan negaranya, tetapi oknum anggota dewan yang terlibat telah menghianati amanah rakyat untuk mengawasi uang daerah, tetapi kenapa ikut terlibat juga dalam dugaan korupsi ini. kami juga ingin, penyelesaian kasus ini tidak diselesaikan dengan episode seperti kasus korupsi bansos Bengkalis”, kata Huda.
Untuk itu tidak ada alasan lagi bagi Polda Riau untuk tidak menyelesaikan perkara SPPD Fiktif Setwan DPRD Rohil karena saksi, pengakuan, surat juga ada. Artinya minimum dua alat bukti telah terpenuhi. lantas menunggu apa lagi!?
“Kami khwatir jika dugaan SPPD Fiktif di Setwan DPRD Rokan Hilir ini tidak dibawa sampai ke pengadilan masyarakat Riau ragu dengan “Konsep Presisi” Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dimana akan dianggap hukum itu tajam ke bawah, tumpul ke atas, tutup Dr. Muhammad Nurul Huda, SH. MH.
Sumber : Dr.M.Nurul Huda, SH.MH
Editor: Aps