PT Sumber Sawit Sejahtera Didenda Lebih dari Rp200 Miliar Akibat Karhutla, Penegakan Hukum Dipertanyakan

PT Sumber Sawit Sejahtera Didenda Lebih dari Rp200 Miliar Akibat Karhutla, Penegakan Hukum Dipertanyakan

Pelalawan – PT Sumber Sawit Sejahtera (PT SSS), perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi di Riau, telah divonis bersalah atas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di areal konsesinya seluas 400 hektare pada Februari 2019. Akibat perbuatan melawan hukum tersebut, PT SSS dijatuhi denda lebih dari Rp200 miliar, namun hingga kini pelaksanaan sanksi tersebut masih menuai tanda tanya.

Bacaan Lainnya

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dalam putusan 10 November 2020, mengabulkan gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap PT SSS. Perusahaan dijatuhi ganti rugi senilai Rp160,5 miliar berdasarkan prinsip strict liability atau pertanggungjawaban mutlak.

Di sisi lain, pada 19 Mei 2020, Pengadilan Negeri Pelalawan juga menjatuhkan sanksi pidana kepada PT SSS dengan denda Rp3,5 miliar dan pidana tambahan Rp38,6 miliar, sehingga total denda mencapai Rp42,1 miliar. Vonis ini berkaitan dengan kelalaian PTSSS yang menyebabkan pencemaran udara dan kerusakan lingkungan serius.

Selain KLHK dan pengadilan, perkara ini turut ditangani oleh Penyidik Polda Riau. Direktur Jenderal Gakkum KLHK, Rasio Ridho Sani, menyatakan komitmennya untuk mengejar seluruh pelaku kejahatan lingkungan, termasuk pencabutan izin, pembekuan aset, dan pembubaran perusahaan jika diperlukan.

Namun ironisnya, menurut pengakuan praktisi hukum Rusdinur, S.H., M.H., hingga saat ini tidak ada informasi publik yang menyatakan bahwa PT SSS telah membayar denda tersebut. “Perusahaan tetap beroperasi seolah tidak terjadi apa-apa. Negara harus adil dan tegas,” ujarnya.

Rusdinur menyoroti lemahnya pengawasan dari berbagai lembaga, termasuk Pemda Pelalawan dan Satgas Penanganan Kejahatan Hutan (PKH). Ia juga mempertanyakan penyitaan lahan oleh Satgas PKH yang justru dikhawatirkan menjadi celah untuk menghindari kewajiban pembayaran denda.

“Jangan sampai tindakan penyitaan dianggap sebagai pengganti kewajiban pidana dan perdata. Ini berbahaya bagi penegakan hukum,” tegasnya. Ia juga meminta agar hasil panen sawit dari lahan yang disita tidak dibiarkan atau disalahgunakan, melainkan dimanfaatkan untuk pemulihan lingkungan dan pemasukan negara.

Menurut Rusdinur, SH. MH ini bisa menjadi peristiwa hukum tersendiri. Mengambil alih lahan sementara perusahaan masih dalam status sanksi hukum, apalagi lahan itu kemudian diperjualbelikan, melibatkan oknum pejabat dan kepala desa, ini persoalan serius,”

Rusdinur menegaskan bahwa Pemda Pelalawan harus bertindak berdasarkan hukum dan memiliki dasar yang sah dalam setiap kebijakan.

Sementara itu, Rusdinur mendesak Satgas PKH, Kejaksaan Agung, dan Polda Riau untuk terus mengawasi proses ini. “Jangan hanya tindak pelaku kecil. PTSSS ini contoh perusahaan besar yang harus ditindak tuntas. Jika tidak, keadilan lingkungan hanya jadi slogan,” pungkasnya.

Karhutla bukan hanya kejahatan terhadap lingkungan, tapi juga ancaman terhadap kehidupan masyarakat luas. Penegakan hukum terhadap perusahaan pelaku karhutla harus konsisten, transparan, dan tidak boleh dihentikan hanya karena langkah politik atau penyitaan aset. Keadilan harus dijalankan secara menyeluruh hingga ke akar persoalan.**

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *